Rambu Solo, Pesta Penyempurnaan Kematian Orang Toraja

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi.

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).

Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Prosesi Rambu Solo’

Proses pelaksanaan upacara rambu solo’ meliputi 3 tahap, yaitu: persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Untuk menyiapkan upacara rambu solo’, beberapa persiapan yang harus dilakukan meliputi: pertemuan keluarga, pembuatan pondok upacara, dan menyediakan peralatan upacara. Pertemuan keluarga orang yang wafat, baik dari pihak ibu maupun bapak, dilakukan untuk membicarakan ahli waris, tingkat upacara yang akan dilakukan, tempat pelaksanaan upacara, dan lain-lain.

Pembuatan pondok upacara terdiri dari dua macam, yaitu yang ada di halaman rumah orang yang wafat dan di lapangan upacara. Pondok-pondok tersebut nantinya selain untuk pelaksanaan upacara juga sebagai tempat menginap para tamu. Pondok dibangun sesuai kasta orang yang wafat. Persiapan juga meliputi  penyediaan peralatan upacara seperti peralatan makan, tidur, sesaji dan lain-lain.

Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan upacara rambu solo’ yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu aluk pia atau aluk banua, yakni upacara dilakukan di halaman rumah orang yang wafat (upacara tahap pertama), dan aluk palao atau alok rante, yakni upacara yang dilakukan di lapangan atau rante (upacara tahap kedua).

 Aluk Pia atau Aluk Banua

Pada upacara pemakaman di halaman rumah, jenazah tetap di rumah duka. Upacara tahap pertama ini digelar selama 4 hari berturut-turut. Pada hari pertama dilakukan persembahan sesaji berupa kerbau dan babi, dengan diiringi nyanyian semalam suntuk (ma’badong). Di hari pertama ini, dilakukan juga perubahan letak jenazah sekaligus status mayat berubah menjadi to makula, yaitu orang yang dianggap benar-benar telah wafat.

Hari kedua, selain tetap melantunkan nyanyian semalam suntuk, keluarga menerima masyarakat dan kerabat yang biasanya datang dengan membawa sumbangan berupa hewan atau uang. Sumbangan ini sebagai tanda bahwa kelak jika sang penyumbang juga menyelenggarakan upacara, maka yang disumbang harus mengembalikannya, meskipun tidak dianggap sebagai utang. Para tamu biasanya akan memperkenalkan kerabat masing-masing sehingga dari sini mereka akhirnya saling mengetahui jalinan kekerabatan mereka.

Pada hari ketiga diadakan dua ritual. Pertama yaitu ma’bolong, penyembelihan babi di pagi hari oleh to mebalun di mana semua orang berpakaian hitam sebagai tanda berkabung. Kedua, ma’batang, penyembelihan kerbau di lapangan dan dilanjutkan dengan pembacaan mantra pujian pada leluhur dari atas menara daging (bala’kayan).   

Di hari keempat dilakukan ritual memasukkan jenazah ke dalam sebuah peti kayu. Kayu yang digunakan harus kayu yang sudah mati (kayu mate) dan menjadi simbol bahwa jenzah telah benar-benar mati.

Aluk Palao atau Aluk Rante

Tahap ini digelar di lapangan dengan 4 prosesi, yaitu ma’ palao, allo katongkonan, allo katorroan, mantaa padang, dan meaa. Ma’ palao, jenazah dari lumbung dipindahkan di lapangan dan dibawa dengan iringan arak-arakan. Sesampai di lapangan, kerbau dipotong dengan ditebas langsung lehernya. Daging kerbau lalu dibagikan kepada yang hadir dengan sebelumnya didendangkan syair-syair kedukaan yang diucapkan dalam bahasa adat Toraja.

Allo katongkkonan, keluarga menerima tamu yang datang dan mencatat pemberian sumbangan.  Allo katorroan, keluarga dan petugas istirahat sejenak untuk membicarakan persiapan acara puncak pesta pemakaman. Pada tahap ini, disepakati lagi berapa kerbau yang akan dipotong.   Mantaa padang, adalah acara puncak yaitu pemotongan kerbau yang telah disepakati sebelumnya. Daging kerbau kemudian dibagikan kepada keluarga dan kerabat sesuai adat. Terkadang ada kerbau yang dibiarkan hidup tapi sudah diniatkan untuk disembelih dan disumbangkan untuk masyarakat. 

Proses terakhir adalah  Me aa, yaitu jenazah diturunkan dari lakian atau ke tempat pemakaman, kemudian digelar ibadah pemakaman, ungkapan belasungkawa, ucapan terima kasih dari keluarga, dan prosesi pemakaman jenazah. Upacara rambu solo’ dinyatakan berakhir jika jenazah telah selesai dimakamkan. (DAM/dbs)

0 Response to "Rambu Solo, Pesta Penyempurnaan Kematian Orang Toraja"

Posting Komentar

Silahkan beri komentar