Padrao: Perjanjian Yang Tidak Sempat Ditepati

Apakah Padrao itu?, Tanya seorang siswa sekolah pertama atas yang sedang studi tour di Museum Fatahillah Jakarta. “Padrao adalah seperti yang engkau lihat saat ini, sebuah batu yang terukir dengan lambang bola dunia. Padrao adalah saksi bisu perjanjian antara Kerajaan Padjajaran dengan Kerajaan Portugis yang saat itu sudah menduduki Malaka,dan perjanjian tersebut dinamakan perjanjian sunda kelapa” jelas salah seorang guru.

Lebih jauh sang guru menjelaskan bahwa Padrão berasal dari bahasa Portugis yang berarti batu prasasti berupa tiang berukuran besar yang bergambarkan lambang Kerajaan Portugal, yang didirikan oleh para penjelajah dari kerajaan Portugis sebagai tanda bahwa wilayah tersebut masuk dalam kekuasaan Portugis.

Padrao ini digunakan oleh para pemimpin penjelajahan bangsa Portugis seperti Bartolomeu Dias, Vasco da Gama, Enrique Leme, dan Diogo Cã ketika menemukan/menguasai wilayah baru atau mengadakan perjanjian dagang serta militer dengan penguasa lokal.

Konon, setelah menaklukkan Goa di India pada tahun 1510 dan pelabuhan dagang penting Malaka di Malaysia tahun 1511, Portugis berlayar lebih jauh lagi menuju ke kepulauan Indonesia. Pada tahun 1513 penjelajah Portugis di bawah pimpinan de Alvin tiba pertama kali di Sunda Kelapa dengan armada empat buah kapal.

Merka datang untuk mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan penduduk setempat terutama lada. Karena dari Malaka mereka mendengar kabar bahwa Sunda Kalapa merupakan pelabuhan lada yang utama di kawasan ini. Menurut catatan perjalanan penjelajah dunia Tome Pires dalam buku Suma Oriental-nya pada masa itu Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang sibuk namun diatur dengan baik. Waktu itu sunda kelapa masih dibawah kekuasaan kerajaan Padjajaran.

Kerajaan Padjajaran merupakan kerajaan Hindu terakhir yang berada di Pulau Jawa tepatnya berada di daerah Pakuan, Bogor. Ketika para penjelajah bangsa portugis berlabuh di Sunda Kelapa untuk yang pertama kalinya, situasi politik dan keamanan Kerajaan Padjajaran sedang krisis.  Kerajaan Padjajaran sedang dibawah ancaman dua kesultanan Isalm, Demak dan Cirebon di sebelah Timur serta Banten disebelah Barat yang sedang melaksanakan ekpansi untuk perluasan pengaruh dan penyebaran agama Islam.

Melihat situasi politik yang sedang terjadi di Sunda Kelapa dalam hal ini kerajaan Padjajaran berinisiatif untuk melakukan kerjasama internasional. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian perdagangan dan militer. Namun karena kunjungan armada penjelajah bangsa Portugis sangat singkat pihak Portugis tidak menaggapi inisiatif tersebut, namun pihak kerajaan Portugis berjanji akan kembali ke Sunda Kelapa.

Beberapa tahun kemudian tepatnya tahun 1522 armada kerajaan Portugis tiba kembali dipelabuhan Sunda Kelapa. Armada Portugis datang dibawah pimpinan Enrique Leme atas perintah Gubernur Alfonso Albuqeurque yang berkedudukan di Malaka dengan membawa hadiah untuk Raja Pajajaran Prabu Samian atau Sang Hyang Surawisesa . Portugis melihat posisi Sunda Kalapa strategis sebagai pelabuhan dagang dan tempat transit bagi kapal-kapal dagang Portugis.

Melihat potensi tersebut, Portugis menerima inisiatif Padjajaran untuk mengadakan perjanjian untuk mendirikan benteng militer dan pos/kantor dagang. Sebagai imbalannya Portugis akan membantu Padjajaran apabila Kesultanan Demak dan Cirebon menyerang Padjajaran.  Maka, Pada tanggal 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian dagang dan militer antara Portugis dan Kerajaan Sunda Pajajaran. Perjanjian tersebut diabadikan pada prasasti batu yang disebut Padrao. 

Aksara yang digunakan dalam perjanjian tersebut adalah aksara Gothik dan berbahasa Portugis. Padrão didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis. Pada dokumen perjanjian, saksi dari Kerajaan Sunda adalah Padam Tumungo, Samgydepaty, e outre Benegar e easy o xabandar, maksudnya adalah “Yang Dipertuan Tumenggung, Sang Adipati, Bendahara dan Syahbandar Sunda Kelapa”. Saksi dari pihak Portugis, seperti dilaporkan sejarawan Porto bernama João de Barros, ada delapan orang. Saksi dari Kerajaan Sunda tidak menandatangani dokumen, mereka melegalisasinya dengan adat istiadat melalui “selamatan”.

Setelah penandatangan perjanjian, pihak Portugis menancapkan Padro di tepi Pantai Sunda Kelapa tepatnya saat ini berada di jalan Cengkeh.  Secara spesifik Pada batu tersebut di bagian atas tampak armillary sphere atau rangka bola dunia dengan khatulistiwa dan lima garis lintang. Paling atas tampak lambang tiga daun, yakni Trifoil. Terdapat pula empat garis inskripsi yaitu: Pertama,  Salib Ordo Christus (yang termasyhur di Portugal sebagai penerus Ordo Tempel dari Yerussalem di wilayah kuasa raja Portugis itu, terlihat di sebelah kiri di atas huruf O atau D). Kedua, DSPOR yang berarti D.S.POR. (singkatan dari Do Senhario de PORtugal, artinya "Penguasa (=Tuan) atas Portugal"). Ketiga,  ESFER a/Mo yakni Esfera do Mundo (artinya "Kawasan Dunia" atau Espera do Mundo artinya "Harapan dunia"). Keempat,  mungkin masih ada salib lagi seperti baris pertama, tetapi kurangjelas. Pada sisi kiri bagian atas tampak suatu salib yang kabur dalam bentuk seperti Salib Ordo S. Joanes.

Dengan perjanjian tersebut Portugis berhak membangun pos dagang dan benteng di Sunda Kalapa. Namun oleh kesultnan Demak perjanjian tersebut dianggap provokasi, lalu memerintahkan Fatahillah atau Falateham memimpin serangan tentara gabungan Kesultanan  Demak, Cirebon dan Banten untuk menkalukan kerajaan Padjajaran dan merebut  Sunda Kelapa.

Pada tahun 1527 saat armada kapal Portugis kembali di bawah pimpinan Francesco de Sa dengan persiapan untuk membangun benteng di Sunda Kalapa, ternyata gabungan kekuatan kerajaan Islam Sultan Banten yang dibantu oleh bala tentara kerajaan Islam Demak dan Cirebon berjumlah 1.452 prajurit di bawah pimpinan Fatahillah, sudah menguasai kerajaan Padjajaran dan Sunda Kelapa sehingga pihak Portugis gagal membangun benteng dan pos dagang, itu artinya isi perjanjian Sunda Kelapa belum sempat di tindaklanjuti.

Peristiwa  ditaklukannya kerajaan Padjajaran, direbutnya Sunda Kelapa, dan diusirnya pasukan Portugis dari Sunda Kelapa diperingati dengan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti “kemenanagan yang nyata”. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, oleh karena itu setia tanggal 22 Juni diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta.

Padrão Sunda Kelapa, atau dinamakan juga “Perjanjian Sunda Kelapa”, ditemukan kembali pada tahun 1918, ketika dilakukan penggalian untuk membangun rumah di Jalan Cengkeh (dulu bernama Prinsenstraat), dekat Pasar Ikan, Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Koleksi Padrao di Museum Nasional adalah yang asli adapun yang berada di museum Fatahillah hanya replikanya saja.  (deni)

1 Response to "Padrao: Perjanjian Yang Tidak Sempat Ditepati"

Silahkan beri komentar